Saturday, March 20, 2010

Mezzoforte IV

Tik..tik.. titik-titik air mulai berjatuhan melalui celah-celah atap bilik. Hujan. Banyak air yang masuk menetes ke dalam rumah gubuk ini. Tetesan air membuat anak-anak yang sedang beristirahat tadi kaget dan bangun dari mimpi indahnya.
Cindy langsung beranjak dari duduknya dan segera berlari ke belakang untuk mengambil beberapa ember kosong. Kemudian ia letakkan ember kosong itu di tengah dan pojok ruangan untuk menadah air hujan yang masuk. Sedangkan anak-anak yang lain berhamburan ke luar dan mengambil payung besar satu per satu. Mereka berlarian ke arah jalan raya di sekitar pusat perbelanjaan.
“Kak! Ngojek payung dulu ya!,” seru Djaka berlari ke luar tanpa alas kaki.
“Hei Djaka, sendalmu mana? Pakai dong!,” perintah Nia.
“Gak ah Kak, enakan gini! Lagian sendalku udah mau jebol, Hehe, Daaagghh kak Nia, kak Sheila!,” seru Djaka lagi.
“Heii….!!,” panggil Nia, namun Djaka sudah berlalu. Kepergiannya disusul oleh Putri dan Cindy, begitupula dengan mereka, tidak mengenakan alas kaki. Baru ingin memanggilnya, namun mereka berlari cepat ke arah jalan raya.
“Bu, …” panggil Sheila menoleh ke arah Bu Annie.
“Ya begitulah nak, kalau gak kayak gitu, kami tidak bisa makan. Air hujan merupakan sumber rezeki bagi kami. Ibu sebenarnya gak mau melihat anak-anak mencari nafkah seperti itu. Tapi yah apa boleh buat, dagangan ibu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” jelas Bu Annie menjawab pertanyaan yang baru akan Sheila ajukan.
“Yang sabar yah, Bu. InsyaAllah kalau ada rezeki, aku dan teman-teman bantu semampunya,” ujar Nia sambil memegang pundak Bu Annie.
“Iya, nak. Terima kasih banyak atas bantuannya,” ucap Bu Annie tersenyum.
Sheila melihat jam tangannya dan tersentak kaget, “Ya ampun Ni, udah hampir magrib!,”
Nia ikutan kaget, “Hah?! Serius,La? Gak terasa ya?,”
Sheila mengangguk pelan dan mulai menekan tombol handphone-nya, “Pak Arga, bapak udah sampai rumah belum?”
“Belum, non. Bapak kebetulan mampir di warung cendol-nya Mba Sukma nih! Hehe,” jawab Pak Argamaya yang tengah asyik menikmati es cendol Bandung Kang Erwin.
“Kebetulan Pak, jemput aku dong. Ketemuan di Mall Taman Anggrek ya, Pak,” kata Sheila.
“Beres, non! “ sahut Pak Argamaya.
Sheila mengajak Nia untuk pulang dan segera berpamitan dengan Bu Annie. Mereka berjanji untuk datang kembali esok lusa. Bu Annie menyambutnya dengan senang hati atas niat baik mereka. Sheila tidak menyangka hari itu ia sisakan untuk sedikit mengenal lebih jauh bangsanya. Ia bersyukur Allah SWT menggerakkan hatinya untuk lebih menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama.
“Ni, anak-anak itu bukan anaknya Bu Annie semua kan?,” tanya Sheila selepas mobilnya melaju meninggalkan parkiran mall Taman Anggrek.
“Bukan lah, La. Hahaha. Anaknya bu Annie itu cuma Djaka dan Putri. Setahuku, kalau anak-anak yang lain itu,, bu Annie dan almarhum suaminya ajak dari berbagai jalanan, kayak dari daerah Kota, Tanah Abang, Senen, Grogol juga. Bu Annie sih pernah cerita, mereka terlantar kelaparan di sana, Bu Annie dan Almarhum tidak tega melihatnya, jadi diajak ke rumahnya,” jelas Nia.
“Oh gitu, Ni. Kirain anaknya semua. Hehe. Bagaimana dengan Dita,Ni?,” tanya Sheila penasaran.
“Hmm,, Dita ya? Dita itu diambil bu Annie dari kolong jembatan di seberang kampus, La. Waktu itu Bu Annie pulang malam dari pasar Grogol, eh ngeliat ada bayi merah terlantar di sana. Kasian Dita, sejak bayi sudah ditinggal orang tuanya.,” ucap Nia dengan mata berkaca-kaca.
“Ya Allah, kasian sekali Dita. Aku jadi malu, Ni. Bu Annie aja yang bisa dibilang hidupnya pas-pas-an banget bisa menampung anak-anak sebanyak itu,” ujar Sheila terharu.
“Iya La, aku juga. Tau gak La?, dulu itu Bu Annie tinggal di komplek daerah Cinere, ia dan almarhum suaminya punya usaha catering. Anak-anak juga sempat tinggal di sana. Cuma karena kena fitnah, usaha catering mereka jadi bangkrut. Mereka kehilangan harta mereka, termasuk rumah. Makanya, untuk menyambung hidup, sekarang bu Annie nitipin beberapa gorengan buatannya di pasar Grogol” cerita Nia sedih.
“Kasian Bu Annie,, tega banget orang yang memfitnahnya!,” seru Sheila kesal.
“Iya, temannya sendiri yang memfitnah. Waktu itu nasi box Bu Annie kedapatan beberapa ulat belatung di dalamnya. Padahal sejauh itu, nasi box bu Annie fine-fine aja. Gak pernah ada yang complaint. Apalagi Bu Annie sangat memperhatikan kebersihan masakannya,” ujar Nia.
“Semoga Allah SWT memberi balasan yang setimpal kepada orang itu,” gumam Sheila.
“Sekarang apa rencanamu Ni untuk bantu mereka?,” tanya Sheila kemudian.
“Iya,La, semoga. Aku ingin bantu mengajar mereka dulu,La. Sekalian ngajak teman-teman yang ingin menyisihkan hartanya untuk membantu mereka. Akan lebih baik lagi, kalau nantinya bisa buat organisasi sosial. Mau bantu, La?” jelas Nia.
“Wah, ide yang bagus tuh,Ni! InsyaAllah aku ikut bantu!,” seru Sheila bersemangat.
“Oke. InsyaAllah rencana kita lancer yah,La. Oh ya, aku berhenti di depan masjid Pondok Indah aja, La. Aku dijemput di sana sama papa,” pinta Nia.
“ Iya Ni, sekalian kita sholat Magrib di sana yah. Nia mau jalan lagi sama papa?” tanya Sheila.
“Iya, kita Magrib di sana. Iya nih, La. Mamaku besok ulang tahun, aku mau beliin sesuatu buat dia. Hehe,” ucapnya malu.
“Wah, salamku untuk mama yah, Ni. Semoga semakin berkah usianya” ujar Sheila menitipkan salam.
“Amin. Terima kasih yah, La,” senyumnya.
Sesampainya di masjid, mereka mengambil wudhu dan mengikuti sholat berjama’ah di sana. Selesai sholat, mereka berpisah dan membuat janji untuk bertemu esok lusa di rumah Bu Annie.

***

Marlyn tidak mengangkat panggilan telepon dari Sheila. Sudah tiga kali Sheila menghubunginya, namun tidak ada jawaban.
‘Mungkin dia masih marah ke aku? Padahal aku mau cerita banyak sama dia. Hmmpff…’ gumam Sheila dalam hati.
Hari ini libur kuliah, namun Sheila tetap dipadati dengan jadwal piano course di daerah Bintaro. Tidak jauh dari rumahnya yang terletak di sektor 3. Gurunya tengah menanti kedatangannya,
“La, tumben telat. Udah dipelajarin PR yang minggu lalu?,” tanya Gurunya.
“Iya nih, kak Sheny. Tadi ketiduran, hehe. Udah sih,kak. Cuma masih banyak yang missed not baloknya. Salah mulu. Pusing jadinya. Susah!,” gerutu Sheila.
“PathetiqÜe-nya Beethoven kan? Ya udah, dicoba dulu deh. Pokoknya harus bisa hari ini yah! Gampang koq!,” perintah kak Sheny.
Sheila mengangguk pelan, ragu untuk memainkan dengan sempurna. Musik klasik memang harus sempurna untuk dimainkan dan itu salah satu hal yang membuat Sheila ragu memainkan musiknya di depan umum.
Tuts piano mulai dimainkan Sheila, jari-jari lentiknya mulai bermain di atasnya. Untuk kali ini, ia memainkannya dengan sempurna. Sheny senang melihat progress Sheila.
“Waw, Sheila! Applause for you, dear. Keren! Tuh bisa!, “ seru Sheny bangga dengan murid kesayangannya itu.
“Hehe, biasa aja kali,kak! Ini juga karena cuma ada huruf p di not balok. Hehe. Coba kalau mf , mp sudah dipastikan saya tidak seberhasil ini,” ungkap Sheila.
“Ya gak gitu lha, itu tinggal ngikutin sense of music kamu aja, La. Inget kan yang pernah aku bilang, main piano, pertama memang kita pelajari not balok dengan berbagai tanda di dalamnya, tapi untuk selanjutnya, pake feeling, La. Kalau untuk piano (p), mezzopiano (mp), forte (f), mezzoforte(mf),dan lain-lain, itu tinggal main feeling untuk menekan tutsnya,” jelas Sheny mengingatkan.
“Tapi aku paling gak bisa mainin musik kalau ada mezzoforte-nya. Kayak abu-abu, gak jelas!, “ gerutu Sheila.
“Bukannya abu-abu,La! Justru itu yang bikin lagu itu berwarna, jadi gak hanya lembut atau keras saja, kamu bisa main feeling di sana. Coba dipelajari deh. Minggu depan Hungarian Dance No. 5-nya Brahms yah! Ada mezzoforte-nya tuh,” suruh Sheny tersenyum.
“Ya udah deh, ga janji oke ya mainnya!,” seru Sheila.
“Ga boleh, harus oke mainnya!. Oh ya La, kamu ikutan aja audisinya Ananda Sukarlan,” suruh Sheny.
“Gak pede,kak. Aku kurang bisa mainin musik pop, kan bukan aliranku. Hehe. Lagian aku bisa mati gaya kalau mainin di depan orang banyak” curhat Sheila.
“Pasti bisa,La. Tinggal pilih lagu pop dan latihan. Aku bantu deh!,” kata Sheny meyakinkan.
Sheila hanya diam dan masih cukup mempertimbangkan tawaran gurunya itu. Dalam hatinya terbesit keraguan untuk melanjutkan mimpinya.

(to be contined)

Cerpen Karya :

Lydia Desvita SAri

March 20,2010

Mezzoforte III

Sesampainya di dalam gubuk kecil itu, Sheila terkejut dengan apa yang dilihatnya, gubuk seluas 3x5 m dengan jumlah penghuni sebanyak 8 orang. Gubuk beralaskan tikar itu menjadi saksi kehidupan mereka yang memprihatinkan. Sebagian besar penghuninya merupakan anak-anak. Beberapa di antara mereka terlihat tertidur pulas kelelahan. Namun ada beberapa anak yang masih asyik memainkan alat musik.
“Ka-k Cin-dy, i-ni te-man- ba-ru ta,” jelas Dita ke salah seorang gadis kecil berambut panjang lurus di pojok ruangan.
Gadis itu terlihat acuh tak acuh akan kedatangan mereka. Ia masih asyik membersihkan pianika tuanya dengan lap basah. Sheila agak jengkel dengan prilakunya yang sama sekali tidak merespon perkataan adiknya. Dita murung dengan respon negatif kakaknya dan berlalu meninggalkannya menuju kakaknya yang lain.
“Ka-k Dja-ka, ta’ pu-nya te-man ba-ru, na-ma-nya kak- Ni-a dan kak… ka-k,” Dita binggung melanjutkan kalimatnya dan memandang Sheila dengan heran.
“Namaku Sheila, Dita sayang,” senyum Sheila memandang Dita.
“Oh-ya, ka-k She-i-la,” eja Dita perlahan-lahan.
Sheila tersenyum namun sulit baginya untuk membendung air yang sejak tadi bermain di bola matanya. Ia tak banyak bicara dan perhatiannya kini terfokus pada babarapa alat musik yang terletak di sudut ruangan, biola, suling, gitar kecil, bahkan mini keyboard, semua terlihat usang. Jauh lebih usang bila dibandingkan dengan alat-alat musik bekas di gudang rumahnya. Terbesit tanya di hatinya, untuk apa alat-alat musik itu?
“Oii kak Nia, kak Sheila, salam kenal, hehe!!,” teriak Djaka, anak lelaki yang dari tadi membolak-balik koran bekasnya, membuyarkan lamunan Sheila.
“Put, Put, Putriiiiiii!!, “ teriaknya lagi. Suaranya lantang layaknya pemimpin upacara bendera di hari Senin.
“Iya Mas!! “ jawab seorang gadis kecil berambut ikal dengan jepitan pink. “Apaan sih?? Upss.. da tamu toh!,” katanya sedikit kaget melihat kedatangan mereka.
“Tolong ambilkan air putih untuk tamu kita. Cepet ya!!” suruh Djaka
“Yah kakak, Putri kan lagi bantu ibu di belakang,, suruh si Cindy aja tuh kak!” jelas Putri
“Sudahlah, gak usah repot-repot,” ujar Nia sungkan
“Kalau air putih mah kita masih punya, kak!,” seru Djaka tersenyum
“Ayo Cindy, cepat ambilkan! “ lanjut Djaka
Tanpa menunjukkan ekspresi wajah, Cindy beranjak dari kesibukannya dan berjalan ke arah belakang.
Perhatian Sheila kini tertuju pada keyboard usang di pojok ruangan. Ia mendekat dan mulai mengerakkan jari-jarinya di atas tuts keyboard itu. Sayang, tidak ada listrik di gubuk itu. Kalau saja ada, Sheila berniat memainkan prelude ciptaannya.
“Hmm,, Djaka, keyboard ini masih bisa dimainkan?,” tanya Sheila penasaran
“Bisa lhaa Kak, kalau gak bisa, untuk apa kami simpan di sini? Hehee,” canda Djaka
“Lho, bisa dinyalakan di sini?,” lanjut Sheila
“Gak kak, mana bisa dinyalain di sini, wong listrik aja ndak ada toh! Kami biasa main di rumah Ibu Dewi, “ jelas Djaka
“Siapa tuh, de? “ tanya Sheila masih penasaran
“Ibu Dewi itu penyumbang alat-alat musik ini,kak. Ia guru musik di salah satu sekolah swasta. Kami sering main ke rumahnya dan latihan di sana. Nah, katanya, walaupun usang, alat-alat musik ini masih lumayan baik dimainkan. Dia juga berharap, suatu saat nanti, kami bisa konser keliling dengan alat musik ini,” jelas Djaka panjang lebar
“Konser keliling? Kalian sudah pernah konser keliling?,” tanya Sheila heran
“Belum kak, kami masih sekedar ngamen di jalan saja,” jawab Djaka dengan raut wajah muram.
“Hmm.. gitu ya?,” gumam Sheila sedikit heran.
Sesosok wanita paruh baya yang menggendong tumpukan pakaian masuk dari pintu belakang. Wanita itu bersama Cindy yang tengah membawa dua gelas air mineral di atas nampan kayu.
“Bu Annie!,” seru Nia.
“Nia! Ya Allah, Nak. Maaf ibu tadi lagi asyik angkat jemuran di belakang,” jelasnya.
“Iya Bu, gapapa. Oh ya Bu, aku bawa temanku, kenalkan. Namanya Sheila,” ujar Nia sambil memperkenalkan Sheila pada Bu Annie.
“Sheila,” kata Sheila memperkenalkan diri.
“Annie, saya pengurus anak-anak di sini. Hehe,” ujar Bu Annie sambil tersenyum.
“Oh ya Bu, senang berkanalan. Ibu sudah lama tinggal di sini?” tanya Sheila.
“Iya, Ibu sudah lama tinggal di sini. Sudah sekitar 10 tahun. Yah, beginilah keadaan kami, hidup serba kekurangan,” jelas Bu Annie tersenyum datar.
Cindy meletakkan dua gelas berisi air mineral di atas lantai bealaskan tikar rotan. Ia tidak mempersilahkan mereka untuk minum. Melihat tingkah lakunya, Bu Annie langsung menegurnya, “Cindy, ayo bilang apa sama tamu kita?,”
“Silahkan,” kata Cindy dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Terima kasih, Cindy,” sahut Nia tersenyum.
Cindy hanya mengangguk pelan kemudian tenggelam kembali dalam keasyikannya membersihkan pianika tuanya.
“Bu, di sini yang mengurus anak-anak, hanya Ibu Annie saja?,” tanya Sheila.
“Iya nak Sheila, dulu Ibu dan suami yang mengurus anak-anak. Hanya saja suami ibu sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Jadi yah, ibu saja yang mengurus anak-anak. Tapi Alhamdulillah nak Sheila, semenjak sepeninggalan bapak, ada saja pertolongan, yang paling sering mampir ke sini itu nak Bintang. Dia yang sering bantu kami,” ujar Bu Annie panjang lebar.
“Bintang?,” tanya Sheila.
“Iya, namanya Bintang. Dia sering mengajar anak-anak di pondokan belakang. Tapi hari ini ibu belum lihat dia tuh. Biasanya datang agak siangan untuk ngajar anak-anak” jelas Bu Annie mengerutkan dahi.
“Oh iya, Bintang. Aku sudah kenalan sama dia, La. Iya, biasanya jam segini udah nongol di sini. Hmmm, dah sore nih, lagi ada keperluan mendadak barang kali,” duga Nia.
“Ka-k Bin-tang, hm-mpff” gumam Dita sambil menghela nafas.
“Iya ya, kak Bintang mana nih? Tumben..” sambung Djaka.
“Kak Bintang masih kuliah kali, Mas,” ujar Putri menduga-duga.
“Mungkin,” jawab Cindy yang akhirnya mulai bersuara.
Sheila hanya mendengar orang-orang menyebut nama Bintang. ‘Seistimewa apakah dirinya? Orang-orang di sini pasti sangat mengaguminya,’ gumamnya.


Cerpen Karya :

Lydia Desvita Sari

March 20,2010

Friday, March 19, 2010

Ning Aya's Wedding






Posting kali ini berisi tentang cerita si Ning Aya yang sebentar lagi akan menikah. Well, postingan ini request dia lho… wuahahaha :D
Niy anak udah jarang Online belakangan ini, mungkin dipingit sama orang tuanya ga boleh Online seminggu sebelum hari H. Pamali, mun ceuk urang Sunda mah. Kemungkinan juga, si Ning Aya udah ambil cuti nikah.
Judul postingnya apa ya? Mendadak kawin? Ups, gak deh. Tapi intinya emang gitu. Diperhalus saja deh jadi Ning Aya’s Wedding. Begini ceritanya, sekitar dua minggu yang lalu, saya sempat lupa tanggal akad nikahnya. Memang, tadinya keluarganya dan keluarga calon suaminya berencana untuk menyelenggarakan akad nikah terlebih dahulu, untuk resepsi pernikahan akan disusul 2-3 bulan berikutnya. Hal ini dikarenakan waktu persiapan yang belum cukup matang untuk menyelenggarakan resepsi. Tapi,,, semua memang kehendak Allah SWT. Tiba-tiba dateng sms tengah malem yag isinya,
“Lyd, lo bisa gak bantu gw jadi pager ayu? Resepsi gw jadi bareng tanggal akad nikah. Puyeng gw dadakan gini!,”
Ups.. saya yang kebetulan terbangun di tengah malam langsung tertawa geli. Untung bukan disangka si Neng Kunti, malem-malem terkekeh-kekeh. Hehe. Namun saya jadi ikut kepikiran bagaimana persiapan resepsi kelar dalam waktu sekitar 3 minggu. Subhanallah.
Keesokan harinya, pagi-pagi tepatnya, di ruangan yang penuh dengan dokumen-dokumen, hp saya bergetar, hooo ternyata benar dugaan saya, si Ning Aya menyapa di Yahoo Messenger
Yayah : “Lyd, bisa gak?”
Lydia : “Sipp yah. Kaget gw sama beritanya!”
Yayah : “Iya niy Lyd, gw aja kaget sampe bilang ke Bang Muaz, ‘Gile loe Bang! Dadakan banget!’ Hehe”
Lydia : “Hahhaa.. gw insyaAllah bisa bantu buat jadi pager ayu. Tenang aja. Lo yang tenang ya yah, jangan stress. Gerak cepet tapi tenang.”
Yayah : “Iya Lyd, makasih ya”
Lydia : “Terus undangannya gimana ? dah buat?”
Yayah : “iya, gw n bang Muaz dah pesen.”
Lydia : “syukurlah”
Yayah : “Kemaren tuh keluarganya Bang Muaz dateng, terus tiba-tiba ngomong kayak gitu. Asli kaget banget!”
Lydia : “Hahhahaa.. Gapapa lhaa yah, makin cepat makin baik”
Yayah : “Doain gw ya Lyd”
Lydia : “Iya yah. InsyaAllah gw bantu doa. Oh iya, ada yang mesti gw bantu lagi gak yah? Souvenir gimana?”
Yayah : “Iya Lyd, beli dimana ya? Yang murah. Hehe”
Lydia : “Bentar ya gw tanya dulu”
Bingung harus jawab apa, akhirnya saya tanyakan kepada teman se-team audit saya, Ray. Kata dia, di Mangga Dua banyak dan murah.
Lydia : “Yah, kata temen gw, di Mangga Dua. Murah”
Yayah : “Lo bisa bantu beli, Lyd? “
Lydia : “Boleh,Yah. InsyaAllah bisa”
Yayah : “Lo bisanya kapan?”
Lydia : “Paling hari sabtu or minggu. Kelamaan yah?”
Yayah : “Gitu ya Lyd? Ketemuannya dimana niy?”
Lydia : “Terserah lo, Yah”
Yayah : “Nanti gw hubungin lo lagi deh,Lyd”
Lydia : “oKay Yah”
Hmm.. souvenir yang bagus apa ya? Kasian Yayah, mendadak banget meritnya. Pasti deg-degan tuh anak. Hehehe.. Sayang banget, gak bisa bantu banyak buat dia karena lagi banyak kerjaan. Rasanya baru kemarin kami melewati hari bersama di SMP. Sebentar lagi, udah mo merit aja tuh anak. Udah mau jadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya kelak. Jadi gak sabar buat ngeliat dia akad dan bersanding di pelaminan. Jadi terharu…
YM dari dia muncul lagi,
Yayah : “Lyd”
Lydia : “Iya yah?”
Yayah : “Nanti gw n bang Muaz aja yang beli souvenirnya”
Lydia : “Gapapa, Yah?”
Yayah : “Gapapa koq,hon. Hehe”
Lydia : “Yaaaahh,, gw gak jadi bantu lo dong”
Yayah : “gapapa Lyd. Bantu doa aja, terus jadi pager ayu. Hehe”
Lydia : “Siipp,,hehe. Jadi beli di Mangga Dua?”
Yayah : “Gak Lyd, jadinya di Mester, Jatinegara. Banyak pilihan dan lebih murah. Hehe”
Lydia : “Iya ya? Ya udah. Ati-ati ya”
Yayah : “Iya, niy bentar lagi gw dijemput Bang Muaz. Gw izin pulang cepet”
Lydia : “Okey Yah”

Keesokan harinya, ada 1 notification di facebook, yaitu wedding invitation berwarna ungu dengan hiasan kupu-kupu di tengahnya. Bunyinya :

Undangan Pernikahan
Siti Syahriah & Mu’az Rasyied
27 Maret 2010
Akad : Pkl 9.00 WIB
Resepsi : Pkl. 11.00 - 17.00 WIB

Sahabat-sahabatku semua.. mohon do'anya ya. Bagi yang bisa meluangkan waktunya untuk hadir, aq ucapkan terima kasih. Aq tunggu kedatangan kalian semua ya.. ^_^ cu
So, teman-teman, yang baca artikel ini, yuuk mari dateng ke nikahannya Yayah & Mu’az.. Hwehehehe..
Untuk Yayah saudariku yang dicintai Allah SWT, semoga acara pernikahannya berjalan dengan lancar yah. Love You.. mmuuaahh..

Monday, March 1, 2010

Mezzoforte II

***

Biipp,, Bipp,,tidak terdengar suara laki-laki di seberang sana. Sheila coba telpon lagi, akhirnya diangkat juga.

“Pak, jemput aku dong, lagi dimana Pak?,” tanya Sheila

“Bentar non Sheila, Bapak masih di daerah Slipi. Non Sheila sendirian?” tanya Pak Argamaya, supir kepercayaan keluarga Sheila.

“Iya Pak, Marlyn gak bareng,” ujar Sheila muram.

“Oh yo wess lah, tunggu ya,” ujar pria itu.

Sheila menutup flip handphonenya, perasaannya tidak karuan dari tadi. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin sekali ikut dalam audisi piano, namun ia tetap yakin pasti kosentrasinya akan buyar saat bermain piano di depan banyak orang.

‘Hmm,, Berlin Philharmonic,, akankah aku sampai di gedung konser bergengsi di Jerman itu? Mengikuti orchestra besar kenamaan di Berlin dan memberi resital piano tunggal di sana seperti yang dilakukan Ananda Sukarlan. Concertgebouw di Amsterdam, Auditorio Nacional di Madrid, Rachmaninoff Hall di Moskow, dan Queen's Hall di Edinburg. Sepertinya cuma angan-anganku saja.. Perkataan Marlyn benar, aku tidak akan bisa meraih mimpiku apabila selalu diliputi rasa takut dan malu berlebihan. Rasa takut seharusnya hanya kepada Allah SWT,’ gumam Sheila dalam hati.

“Assalamualaikum, Sheila,” sapa gadis berjilbab, membuyarkan lamunan Sheila yang sedari tadi menunggu supirnya.

“Waalaikumsalam, eh cacat! Ups..,” jawab Sheila

“Hus,, kamu koq masih panggil aku cacat siy, La? Huu,” ujar Nia kesal.

“Iya Ni, maaf, kelepasan, tapi kamu emang cacat. Huahahahaa,” canda Sheila geli.

“Sheila, kamu tau gak? Kita sebagai sesama muslim tidak boleh memanggil nama saudari kita dengan perkataan kasar. Nih ya, di pengajian minggu lalu, ustadznya bilang…… bla.. bla.. bla..,” ujar Nia panjang lebar.

‘NIa sudah banyak perubahan, Subhanallah,’ gumam Sheila dalam hati dan tersenyum kecil.

“Makanya dateng dong ke pengajian mingguan. Insyaallah banyak manfaatnnya koq, La. Jangan nongkrong mulu di kedainya Kang Erwin. Hihiii,” canda Nia geli.

‘Nia, yang dulu sempat menjadi pecandu narkoba, kini sudah berubah 360 derajat. Alhamdulillah. Apalagi kini dia memakai jilbab, makin terlihat cantik. Hari-harinya kini diisi dengan pengajian ke berbagai masjid. Pernah suatu kali ia yang membawakan materi pengajian remaja. Subhanallah. Jika lihat keadaan Nia dahulu, miris sekali, ia diajak salah satu teman gengnya, Amanda, untuk berfoya-foya, clubbing bahkan bermain judi, sampai akhirnya menjadi pemakai narkoba. MasyaAllah. Namun berkat pertolongan dari keluarganya, ia kembali hidup normal. Tentunya berkat pemuda-pemudi rohis kampus juga yang membantunya kembali ke jalan Allah SWT. Aku salah satunya. Heheehe.. ‘ pikir Sheila.

“La, kamu ikut dong pengajian, seru lho! Besok itu bahasannya tentang ‘Perjuangkan obsesimu sampai akhir hayat’,, keren kan judulnya? Hehe” ajak Nia.

“Wah seru tuh,Ni. Kebetulan aku juga lagi ragu tentang sesuatu,” ujar Sheila.

“Hehee,, ciyeee,, apaan tuh? Mau nikah yah, La?,” canda Nia cekikikan.

“Haha,, ada-ada aja kamu, Ni. Mau sih, tapi ga tau deh! Nunggu waktu yg tepat dan pilihan terbaik Allah, Ni,” jawab Sheila tersipu malu.

“Iya deh, La. Aku doain. Oh, jadi bukan soal itu? Terus apa dong?” tanya Nia penasaran.

“Ada dehh.. hihihiii,” ledek Sheila.

“ Huu,, dasar! Gak mau bagi-bagi rejeki, hehe. Ya udah La, besok dateng yah,” ajak Nia lagi.

“Iya Ni, InsyaAllah,” jawab Sheila tersenyum.

“Oh ya La, kamu gak dijemput? Kebetulan aku ada urusan ke tempat lain, klo kamu ada waktu, mau ikut denganku?” ajak Nia.

“Aku lagi nunggu pak Arga, Ni. Memangnya kamu mau kemana?,” tanya Sheila

“Ada tempat yang baru-baru ini rutin aku kunjungi. Kamu akan tau,” jelas Nia.

“Jadi penasaran, oke deh, aku ikut! Aku telpon pak Arga dulu yah, Ni” seru Sheila bersemangat.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 petang. Setelah melalui perjalanan yang singkat, sampailah mereka di sebuah gubuk di tengah kota tepatnya, di samping mall Taman Anggrek Grogol dan di bawah jembatan layang.

“Ya Allah, aku baru tau ada tempat tidak layak huni seperti ini di tengah kota, Ni,” ujar Sheila dengan mata berkaca-kaca.

“Iya, La. Aku juga baru sadar 2 minggu yang lalu saat aku ingin pergi ke arah Kebon Nanas, kamu tau kan, kalau kita ke arah Kebon Nanas, kita pasti lewatin jembatan layang dan dari sana terlihat perkumuhan seperti ini,” ujar Nia iba.

“MasyaAllah,” gumam Sheila makin terharu melihat banyak anak-anak di sana.

“Ayo La, kita ke gubuk di belakang tumpukan sampah itu,” ajak Nia.

Sheila tertegun dan hanya mengangguk lemas menerima ajakan Nia.

“Hai Dita, Assalamualaikum,” sapa Nia ramah kepada gadis kecil berbaju lusuh itu.

“Ka-k Ni-a!! Wa- wa-a-lai-kum-sal-am ka-k!,” jawab bocah itu gagap. Sheila iba melihatnya, sudah lama ia tidak berkecimpung dalam kegiatan sosial dan melupakan kewajibannya untuk menolong sesama.

“Anak pintar, sudah belajarnya, dik?” tanya Nia lembut

“iya! Su-dah, ka-k!,” jawab Dita bersemangat dan terlihat gembira karena kehadiran Nia.

“Dita, anak baik, mama Annie ada?” tanya Nia lagi.

“Ma-ma? Ma-ma a-a-da di- da-lam, kak,” ujar Dita pelan-pelan.

“Baiklah, kita ke sana yuk, dik,” ajak Nia sambil merangkul bahu kecil Dita.

Dita mengangguk semangat dan Sheila mengikuti mereka dari belakang.

Bersambung...


Cerpen Karya :

Lydia Desvita Sari

March 1,2010


Mezzoforte I

“Aku malu,” aku gadis bermata bening itu menampakkan wajah merah merona.

“Ya ampun La, ngapain malu sih?, ini kan untuk masa depan kamu juga!,” seru Marlyn menyemangati.

“Kamu gak tau sih Lyn, sulit banget klo di depan orang banyak,” jelas gadis itu ragu.

“Duh aku gak ngerti deh, yang jelas, klo kamu tetep kayak gini dan gak berani coba, kamu gak bakalan bisa maju!! Sampai kapan kamu gini terus,La?,” seru Marlyn gregetan.

“Taulaah..” katanya pasrah.

Sheila Amara Melodi, namanya. Gadis semata wayang dari pemilik tunggal warisan keluarga besar Wargadisastra, keluarga ternama di kalangan sundanis. Tiga minggu lagi tepatnya young pianist audition “Ananda Sukarlan” yang akan berlangsung di kota Surabaya. Sheila termasuk salah satu pianis berbakat di tempat lesnya, namun karena sanggar musiknya itu jarang melakukan show ke berbagai tempat, Sheila tidak terbiasa memainkan musik di depan orang banyak. Ia sering memainkan musik di tengah keluarga kecilnya, namun tidak untuk orang banyak. Baginya, memainkan musik di tengah orang banyak bisa membuyarkan konsentrasi, belum lagi gugup dan pastinya demam panggung. Pokoknya gak banget bagi Sheila. Marlyn, teman sepermainan Sheila sejak SD, terus-terusan mendukung Sheila untuk menjadi musisi kenamaan Indonesia. Namun lagi-lagi, Sheila merasa tidak percaya diri akan kemampuannya dalam bermain piano.

“Hmmm..panas banget niy hari !” gumam Sheila

“Iya La, panas beneeerr,,, gggrrrrr,,, eh, kita beli es cendol bandung yuk!” usul Marlyn semangat.

“Ayooo… es cendol bandungnya Kang Erwin!! Muantabb!!” sambung Sheila.

“Hoookkeehh,,ayo ayo!!” sahut Marlyn tak sabar

Mereka pun berjalan santai menelusuri trotoar sepulang kuliah. Kampus mereka terletak di daerah Grogol yang banyak dikelilingi oleh pusat perbelanjaan. Namun, kalau urusan es cendol bandung, Kang Erwin tujuan mereka. Cendol bandung Kang Erwin sudah terkenal sejak tahun 1998, saat krisis ekonomi melanda Indonesia dan di saat para pejuang kampus menonjolkan idealisme mereka demi Indonesia. Di saat dimana terjadi pergolakan sengit antara mahasiswa dan aparat keamanan, korban bergelimpangan dimana-mana, terutama mahasiswa. Masalah yang masih menjadi big question mark di Negara ini. Kang Erwin merupakan salah satu korban tragedi 1998. Kaki kanannya terkena tembakan peluru nyasar ketika ia bersama pacarnya pergi ke daerah Mangga Dua. Pacarnya, Mba Sari, kini meninggalkannya karena melihat dirinya yang berjalan pincang. Andai saja pacarnya itu menerimanya apa adanya dan setia, tentunya mereka akan hidup bahagia seperti kehidupannya bersama istri sekarang. Namun itulah bagian dari skenario Allah SWT dan pasti ini pilihan terbaik dari-Nya.

Kini Kang Erwin telah memiliki kedai di beberapa penjuru Jakarta. Usahanya bisa dibilang sukses. Walau dengan keterbatasannya, ia mampu berdiri membangun masa depan yang lebih baik. Hmm.. salut buat Kang Erwin, gumam Sheila. Sheila dan Marlyn sudah sejak dulu menjadi penglaris Kang Erwin. Terkadang mereka memesan puluhan gelas es cendol bandung untuk acara kerohanian islam di kampus. Ternyata bukan mereka saja yang menyukai es cendol bandungnya Kang Erwin, tapi teman-teman yang lain juga menyukainya. Dahulu Kang Erwin sering ditemani Mba Sari meracik adonan cendol bandung, namun sekarang tidak lagi. Kini Kang Erwin ditemani oleh seorang wanita yang lebih mulia dan menerima Kang Erwin dengan segala keterbatasan, Mba Sukma.

“Assalamualaikum !!,” salam Sheila dan Marlyn kompak.

“Wa’alaikumsalam,,, eh kalian,,” jawab Mba Sukma lembut.

“Mba Sukma, masih ada es cendol bandungnya? Hardang euy..” tanya Marlyn tak sabar sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke arah muka.

Mba Sukma mengangguk pelan dan tersenyum.

“Hooreeee!!” teriak Marlyn

Hari itu Kang Erwin tidak ada di warungnya karena ada pesanan gubuk di acara pernikahan. Mba Sukma yang ada di kedai es cendol bandung itu. Baru jam 2 siang saja, es cendol bandungnya sudah hampir habis. Muantabb!!

“La, serius deh. Kamu ikutan aja audisi young pianist itu,” saran Marlyn lagi sambil menyeruput es cendol bandungnya.

“Saha yang mau ikut audisi?,” tanya Mba Sukma memotong pembicaraan.

“Itu tuh, siapa lagi, si Sheila ogah-ogahan!,” seru Marlyn

“Yee,, kamu Lyn! Musik klasikku masih condong ke arah barat! Gak cocok kalau ikutan audisi Ananda Sukarlan! Apalagi buat Rhapsodia Nusantaranya!” tukas Sheila.

“Ya Ampun,, ga papa kali,, kan gak harus musik tradisional!!,” seru Marlyn sok tau.

“Huu,, sok tau kamu, Lyn! Jelas-jelas acaranya Sukarlan, ya dia pasti ngelirik pianis yang bawain lagu-lagu komposernya,” ujar Sheila menduga-duga.

“Tuh kan, kebiasaan! Jangan-jangan.. Pasti.. Dasar Ms. Sheila sok tau!!” seru Marlyn memojokkan.

“Sudahlah Lyn, aku lagi malas berdebat. Apalagi sama kamu!” ujar Sheila kesal.

“Hus,,hus,, sudah jangan berantem. Gak enak diliatin orang. Ya sudah atuh teh Marlyn, kalau neng Sheila gak mau, jangan dipaksa, nanti dia liyeur lagi,” ujar Mba Sukma menengahi.

“Bukannya gitu La, aku sahabat kamu dari kecil, aku tau betul impianmu. Aku pasti selalu dukung buat capai cita-citamu,La!” sahut Marlyn memberi pengertian ke Sheila.

“Kamu gak ngerti Lyn!!,” bentak Sheila kesal.

“Capek ngomong sama kamu, La! Punya ilmu tapi disimpen aja! Udah ah,, aku duluan!,” seru Marlyn dengan muka masam.

…Kemana aku bawa ilmuku? Benar kata Marlyn, aku hanya menyimpannya sendiri, tidak diamalkan..pikir Sheila.

Bersambung...


Cerpen Karya :

Lydia Desvita Sari

March 1, 2010

 
Copyright © Catatan Pianissimo. All rights reserved.
Blogger template created by Templates Block| Blogger Templates
Start My Salary | Designed by Santhosh